A.
FARDHU
Fardhu
adalah sesuatu yang secara tegas dituntut oleh syara’ supaya dilaksanakan, yang
apabila dilaksanakan maka mendapat pahala,
dan bila ditinggalkan maka berdosa.
Contohnya,
ialah puasa. Syari’at Islam menyuruh kita dengan tegas supaya melakukan
puasa.
Firman Allah
Ta’ala: Difardhukan atas kamu sekalian berpuasa. (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Maksudnya,
apabila kita berpuasa, maka atas puasa itu kita akan memperoleh pahala di surga
kelak, sebaliknya apabila kita tidak berpuasa, maka kita
akan mendapat hukum di neraka.
B.
JABARIYAH
Yaitu
suatu paham yang menganggap bahwa nasib manusia sudah di tentukan oleh allah
swt
C.
ASBAB AL- FARUD
Yaitu
golongan yang sudah pasi mendapatkan bagian- bagian harta waris
D.
HUKUM HAD
Yaitu
hukuman yang sudah di tentukan oleh allah swt baik jenis maupun macamnya
E.
SHAHIB AL-MAL
Yaitu
unit surpus (lenders) orang yang memiliki dana lebi
F.
MUROBAH
Yaitu
akad jual beli antara dua pihak, pihak pertama yaitu LKS sebagai pemilik modal
(shahibul mal) yang menyediakan barang yang dipesan oleh pihak ke dua sebagai
pembli pertama, dijual sebesar harta perolehan dengan tambahan marginkeuntungan
(ribhun) dan sistem pembayaran yang disepakati bersama
G.
WAJIB
Dalam
madzab as-Syafi’i RH, wajib sama persis dengan
fardhu, tidak ada perbedaan sama sekali di antara keduanya, selain dalam masalah haji.
Dalam
masalah haji, wajib ialah amalan yang tidak menentukan sahnya haji. Dengan
kata lain, bila amalan itu ditinggalkan maka tidak
berarti hajinya itu batal atau tidak sah. Contohnya, melempar jumrah, ihram
dari miqat dan wajib-wajib haji lainnya. Jadi, seorang yang beribadah
haji bila tidak melakukan wajib-wajib tersebut, maka hajinya tetap
sah, sekalipun tidak sempurna. Dan atas ditinggalkannya wajib-wajib tersebut,
dia berkewajiban membayar denda (fidyah), yaitu
menyembelih kambing.
Sedang
fardhu dalam masalah haji, ialah amalan yang menentukan sahnya haji. Dengan kata lain,
apabila amalan itu ditinggalkan maka hajinya batal dan tidak sah. Contohnya
ialah, wuquf di ‘Arafah, thawaf ifadhah dan fardhu-fardhu haji lainnya. Jadi,
apabila orang tidak menunaikan fardhu-fardhu tersebut, maka hajinya batal.
H.
FARDHU KHIFAYAH
Ialah
fardu yang disuruh laksanakan oleh masyarakat Islam, bukan oleh orang-perorang
dari mereka. Maksudnya, apabila telah dilaksanakan oleh sebahagian mereka, maka
cukuplah, sedang yang lain-laintidak berdosa lagi.
Adapun bila tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka mereka
seluruhnya berdosa dan durhaka.
Contohnya,
menyelenggarakan dan menyalati mayit. Apabila ada seseorang di antara kaum
muslimin meninggal dunia, maka mereka berkewajiban memandikannya,
membungkusnya, menyalatinya, kemudian menguburkannya. Apabila pekerjaan ini
telah dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin, maka terlaksanalah sudah maksud
perintah Allah. Akan tetapi, apabila tidak ada seorang pun yang menunaikannya,
maka mereka seluruhnya durhaka dan berdosa, karena tidak menunaikan fardhu
kifayahnya.
I.
RUKUN
Rukun
ialah apa yang wajib kita lakukan, sedang ia merupakan bagian dari pekerjaan
yang sebenarnya. Contohnya membaca surat al-Fatihah, ruku’ dan sujud dalam
shalat. Semua ini disebut rukun.
J.
SYARAT
Yaitu
sesuatu yang wajib dilakukan, tetapi tidak termasuk bahagian dari pekerjaan
yang sebenarnya, jadi hanya termasuk pendahuluan-pendahuluannya saja. Contohnya ialah wudlu, masuknya waktu shalat, dan
menghadap kiblat. Semua ini berada di luar shalat yang sebenarnya, dan merupakan
pendahuluan. Namun demikian, untuk sahnya shalat, harus dilakukan.
Pekerjaan-pekerjaan ini disebut syarat.
K.
MANDUB
Mandub
ialah sesuatu yang dituntut oleh syara’ melakukannya, tetapi dengan tuntutan
yang tidak tegas, yang dengan demikian akan diperoleh pahala apabila dilakukan,
tetapi tidak mengakibatkan dosa apabila ditinggalkan. Contohnya shalat Dhuha,
shalat Tahajjud, puasa enam hari pada bulan syawal dan lain-lain.
Ibadah-ibadah ini, apabila tidak kita lakukan, maka kita tidak mendapat hukuman
atass meninggalkannya. Mandub disebut pula sunnah, mustahab,
tathawwu’ dan nafilah.
L.
MUBAH
Yakni
sesuatu yang dikerjakan ataupun tidak, sama saja. Karena syara’ tidak
menyuruh kita meninggalkannya, dan tidak pula menyuruh melakukannya, bahkan
memberi kebebasan kepada kita untuk meninggalkannya atau melakukannya. Dan oleh
karenanya, apabilaperkara mubah dilakukan ataupun ditinggalkan, maka tidak
menyebabkan diperolehnya pahala maupun dosa.
Contohnya
ialah, seperti yang difirmankan Allah Ta’ala:
Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah. (Q.S. Al-Jumu’ah: 10).
Maksud
ayat ini, bahwa bekerja sesudah melakukan shalat
Jum’at adalah mubah. Jadi yang mau bekerjaboleh, dan boleh juga
tidak.
M.
HARAM
Ialah
sesuatu yang secara tegas, syara’ menuntut kita meninggalkannya. Dengan
demikian, apabila ditinggalkan, dikarenakan patuh kepada perintah Allah, maka
akan diperoleh pahala, sedang bila dilakukan maka berdosa.
Contohnya
membunuh.
Allah
Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (Q.S. Al-Isra’:
30).
Contoh lain ialah,
mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar.
Allah
Ta’ala berfirman: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil. (Q.S. al-Baqarah:
188).
Jadi,
apabila seseorang melakukan sesuatu di antara hal-hal yang diharamkan tersebut
di atas, maka ia berdosa dan patut dihukum. Sedang apabila ia meninggalkannya
itu dia kan memperoleh pahala.
Haram
disebut pula mahzhur, ma’shiat dan dosa.
N.
MAKRUH
Makruh
ada dua macam: Makruh Tahrim dan Makruh Tanzih. Makruh tahrim: ialah makruh
yang secara tegas kita tuntut oleh syara’ untuk meninggalkannya, akan tetapi
tuntutan itu tidak setegas haram. Dengan demikian, apabila makruh jenis ini
ditinggalkan, dikarenakan mematuhi perintah Allah Ta’ala, maka akan diperoleh
pahala, sedang bila dilakukan maka diancam hukuman, sekalipun tidak
seberat hukuman atas melakukan perkara haram. Contohnya, melakukan
shalat Sunnah Mutlak di kala terbitnya matahari, atau di kala
terbenamnya. Shalat seperti ini adalah Makruh tahrim.
Adapun
makruh tanzih ialah makruh yang secara tidak tegas syara’ menuntut supaya
diotinggalkan, yang dengan demikian apabila kita tinggalkan, dikarenakan
mematuhi perintah Allah, maka kita mendapatpahala, sedang apabila kita
lakukan, kita tidak diancam hukuman.
Contohnya,
berpuasa pada hari ‘Arafah bagi orang yang sedang melakukan haji. Apabila orang
itu tidak berpuasa dikarenakan mematuhi perintah agama, maka
dia mendapat pahala. Sedang apabila dia berpuasa, maka
tidak mendapat hukuman.
O.
ADA’ (MEMBAYAR TUNAI )
Yaitu
melakukan ibadah tepat pada waktunya telah ditentukan oleh syara. Yakni,
seperti berpuasa Ramadhan di bulan Ramadhan, dan seperti melakukan shalat
Zhuhur tepat pada waktunya yang telah ditentukan oleh syara’.
P.
QADHA’ (MEMBAYAR UTANG )
Maksudnya,
melakukan yang diwajibkan di luar waktunya yang telah ditentukan oleh syara’.
Yaitu, seperti orang yang berpuasa Ramadhan pada selain bulan
Ramadhan, karena pada bulan itu dia terlanjur tidak melakukannya; atau
melakukan shalat zhuhur pada selain waktunya yang telah ditentukan
oleh syara’, karena telah terlewat.
Qadha’
wajib hukumnya, baik terlewatnya ibadah itu karena uzur ataupun tanpa uzur.
Perbedaannya, bahwa terlewatnya ibadah tanpa uzur mengakibatkan dosa, sedang
terlewatnya karena uzur, tidak mengakibatkan dosa.
Allah
Ta’ala berfirman: Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. (Q.S. al-Baqarah: 185).
Maksudnya,
barangsiapa berbuka puasa dikarenakan adanya suatu halangan, seperti sakit atau
melakukan perjalanan jauh, maka wajiblah ia mengqadha’ puasa yang telah dia
lewatkan, sesudah bulan Ramadhan berlalu.
Q.
I’ADAH (MENGULANG)
Yang
dimaksud mengulang di sini ialah, melakukan sekali lagi ibadah, masih dalam
waktunya, dikarenakan mengharap diperolehnya tambahan keutamaan. Yaitu, seperti
orang yang melakukan shalat Zhuhur sendirian, kemudian menyaksikan jama’ah.
Maka, disunnatkanlah baginya mengulangi shalat Zhuhurnya, supaya memperoleh
pahala jama’ah.
No comments
Post a Comment