Kota Bandung, adalah ibu kota provinsi Jawa barat, sekaligus menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian dari provinsi Jawa Barat. Kota yang dikenal sebagai kota parahyangan, mempunyai sejarah Panjang sebelum era kemerdekaan, masa-masa kemerdekaan dan setelah kemerdekaan, termasuk juga tempat diadakannya konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, Kota bandung yang berdiri dengan beragam sejarah panjang di negeri ini, termasuk juga sejarah perjuangan rakyat Bandung terhadap penjajah, perjuangan dengan beragam cara, diantaranya yang paling terkenal adalah strategi bumi hangus kota bandung, yang kini di kenal sebagai Bandung Lautan Api, tidak hanya dengan militer, tapi bentuk perjuangan rakyat bandung menentang penjajah juga di aplikasikan dengan beragam cara, salah satunya dengan olah raga, dan Persib sejak dulu adalah sebagai salah satu symbol perjuangan para pribumi terhadap penjajah, khususnya di kota bandung, dan akhirnya sejarah lah yang mencatat bagaimana persib akhirnya berhasil menghapus hegemoni colonial belanda lewat sepak bola, Dalam perkembangannya klub pertama yang ada di Kota Bandung adalah Bandoeng Voetbal Club (BVC) pada tahun 1900, Bandoengsche Sport Vereniging Uitspanning Na Inspanning (POR UNI) dan Sport in de Open Lucht is Gezond (SIDOLIG) pada tahun 1903. Lalu muncul klub-klub lain macam Laat U Niet Overwinnen (Luno) dan perkumpulan sepakbola militer seperti Velocitas (Cimahi), Sparta, Luchtvaart Afdeeling (LA), Staats Spoors (SS), Yong Men's Combination (YMC, Tionghoa), Opleidingschool voor Inlandsche Ambetenaren (OSVIA, pribumi), dikutip dari buku Persib Juara karangan Endan Suhendra. Semua klub tersebut bermain sepakbola di wilayah alun-alun Kota Bandung. Semua klub ini dinaungi sebuah bond atau perkumpulan sepakbola Belanda bernama Bandoengsche Voetbal Bond (BVB) pada tahun 1914. BVB yang akhirnya mengelola kompetisi di antara klub-klub tersebut. Dalam perkembangannya, kaum nasionalis mencoba untuk mengalahkan hegemoni Kolonial Belanda dalam sepakbola. Bond yang didirikan sejumlah pergerakan nasional di Kota Bandung lahir dengan nama Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada tahun 1923. BIVB yang bakal menjadi cikal bakal Persib.
BIVB yang didirikan kaum pergerakan nasionalis dipimpin oleh Mr. Syamsudin. Kemudian wewenangnya diserahkan ke putra pejuang wanita Republik Indonesia, Dewi Sartika, R. Atot. Pasalnya, Syamsudin menuntut ilmu di Rechts Hooge School (RHS) Batavia. Dua tokoh tersebut ikut andil dalam membidani lahirnya Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang kemudian berganti nama dengan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta. Persib menggunakan lapangan Tegallega dan Ciroyom untuk mengadakan pertandingan sepakbola. Maklum, lapangan alun-alun Kota Bandung dikuasai oleh Belanda dengan para klub anggotanya. Kemudian, BIVB menghilang. Muncul dua perkumpulan bond pribumi, yakni National Voetbal Bond (NVB) dan Persatuan Sepakbola Bandung (PSIB). Keduanya melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan Persib Bandung pada tanggal 14 Maret 1933. Namun, nama PSIB masih melekat sampai tahun 1933. Hal itu terbukti dengan munculnya nama PSIB dalam sebuah turnamen untuk memeriahkan pembukaan Sportpark Tegallega, 9 September 1933 bersama VIJ dan MOSVIA, dikutip dari buku Persib Juara karangan Endan Suhendra. Penggunaan perkumpulan sepak bola bumiputra di Bandung sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme mulai memasuki babak baru pada tahun 1933. menindak lanjuti keputusan Kongres PSSI ke II di Solo bond bumiputra di Bandung bersiap untuk melakukan perombakan Baik secara organisasi ataupun nama. Pada Februari 1933 diadakan pertemuan yang bertujuan menjajaki kemungkinan fusi antara dua bond sepak bola bumiputra di Bandung, yakni BIVB (Bandoeng Inische Voetbal Bond) dan NVB (National Voetbal Bond). Pertemuan itu berlanjut pada pertemuan lainnya tanggal 14 Maret 1933 di Sekolah Karang Kaputran di jalan Kapatihan yang dihadiri oleh tokoh dari kedua perkumpulan sepak bola itu, yakni R. Sadikin, Anwar Soetan Pamoentjak, R. Oto Iskandar Dinata, Mr. Samsoedin, Marahdjani, R. Atot Soeria Winata, R. Oetoen, Soepardjo, B. Saragih, R. Joenoes Djajanegara, Zaenoel Aripin, R. Nonod, A. Moenadi, H. Alexa, R. Soedjono, Aloewi, Soekmaja, dan R. Otong. Pertemuan ini diakhiri dengan keputusan untuk membentuk satu bond sepak bola bernama Persatoean Sepak bola Indonesia Bandoeng (Persib). setelah tahun 1937, Persib mulai mengalami dampak sosiologis sepak bola dalam mengumpulkan massa berjumlah besar. Setiap pertandingan Persib dijadikan arena tokoh pergerakan untuk menyampaikan ide nasionalisme meski disampaikan secara terselubung. Tokoh pergerakan seperti Oto Iskandar di Nata, Anwar Soetan Pamoentjak, dan Atot Soeria Winata beberapa kali hadir dalam pertandingan Persib. Pretasi Persib sampai tahun 1939 masih berada dalam kondisi bagus, meski tak lagi menjadi juara perserikatan. Dampak dari prestasi ini, pertandingan-pertandingan sepak bola semakin marak dilakukan hampir di seluruh kota Bandung dan selalu berhasil menarik massa dalam jumlah besar. Oleh karena pertandingan Persib mampu menghadirkan banyak penonton dan kadang kala digunakan oleh tokoh politik untuk menyampaikan ide nasionalisme, asisten residen dan residen Priangan sempat melarang pertandingan sepak bola. Hadirnya massa dalam jumlah besar ini membuat pemerintahan kota dan residen Priangan beberapa kali sempat memboikot dan melarang pertandingan yang diadakan Persib maupun anggotanya (Rivai, 1973: 9). Kekhawatiran akan dijadikannya pertandingan sepak bola itu sebagai ‘rapat massa’ oleh kaum pergerakan menjadi salah satu alasan pemerintah memboikot dan melarang pertandingan itu. Dari sini terlihat bahwa kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam lapangan politik akhirnya diterapkan pula di lapangan sepak bola dengan jalan melarang atau memboikot suatu pertandingan sepak bola. Menjelang pendudukan Jepang, VBBO membubarkan diri. Seluruh lapangan yang berada di bawahnya kemudian diserahkan kepada Persib (Wihara & Suhendra, 2007: 14). Namun sayangnya, hal itu menjadi kurang begitu berarti, oleh karena kiprah Persib sejak 1940 mulai menurun. Terlebih setelah kedatangan Jepang, 1942, semua kegiatan olah raga dihentikan dan dioganisasikan ke dalam Tai Iku Kai. Di awal berdirinya, Persib cuma 11 anggota. UNI dan SIDOLIG masih masuk Belanda. Para anggota Persib bermain di Tegallega dan Ciroyom. Belanda main di alun-alun. Dulu 11 anggota mempunyai tiga kelas kompetisi, Divisi Utama, satu, dan dua. Tidak berdasarkan umur dan hanya kelas," kata wartawan senior Bandung, Endan Suhendra. Memasuki era penjajahan Jepang, bond-bond di daerah Indonesia mengalami perubahan nama menjadi Persatuan Olah Raga Indonesia (PORI). "Tahun 1942 kegiatan olahraga seizin Jepang. Sebenarnya sepakbola masih ada. Namun, atas penguasaan Jepang. Sesudah kemerdekaan, baru di tahun 1948, sepakbola ada lagi, Persib ada laga melawan Persija ketika itu," ungkap Endan. Sebelum zaman penjajahan Jepang, itu Persib dapat menjadi juara Perserikatan tahun 1937 usai mengalahkan Persis Solo dengan skor 2-1 di lapangan Sriwedari, Mei 1937. Persib kala itu diperkuat Jasin, Arifin, Koetjid, Edang, Ibrahim Iskandar, Saban, Soegondo, Dimjati, Adang, Ana, dan Djadja, dikutip dari buku Persib Juara karangan Endan Suhendra. Gelar Perserikatan 1937 menjadi bukti bahwa Persib mampu mengimbangi VBBO. Rasa nasionalisme menggelora jiwa kaum pribumi. Sepakbola Belanda yang tergabung dalam VBBO mulai kalah bersaing. Mula-mula kekurangan penonton yang 'karena alasan politis' memilih nonton di pinggiran (Persib)," kata Alm Rachmatullah Ading Affandie (RAF) dalam buku Lintasan Sejarah Persib karangan R. Risnandar Soendoro. Meski begitu, Persib kembali mendapatkan perlawanan dari Belanda saat Agresi Militer I dan II (1947-1948). Sepakbola Belanda hidup kembali di Kota Bandung dengan nama PSBS (Persatuan Sepak Bola Bandung dan Sekitarnya) yang merupakan taktik agar bisa disukai kaum pribumi (tidak mengenakan nama Belanda). "Sepakbola Sinyo (Belanda) telah hidup kembali dengan lapangan elite, UNI, SIDOLIG, dan Sparta," kata Alm RAF dalam buku Persib Juara karangan Endan Suhendra Seiring berjalannya waktu, Persib tetap menunjukkan kekuatannya. Tim Maung Bandung mampu menghapus hegemoni Belanda. UNI, SIDOLIG, dan Sparta bergabung bersama Persib. Begitu pun beberapa klub Belanda macam Jong Ambon juga ikut bergabung pada tahun 1950-an. Persib menjadi satu-satunya klub sepakbola besar di Kota Bandung. Kompetisi internal Maung Bandung terus berjalan. Masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya makin banyak yang datang ke lapangan. "Kita dari UNI dulu melalui kompetisi, baru masuk Persib dari 1962-79. UNI lahirnya 1903, waktu itu masih Belanda, kita akhirnya masuk Persib," kata Max Timisela. Mantan pemain persib era tahun 60an Saya mainnya di alun-alun. Suasana ramai, di alun-alun pusat kota jadi banyak yang nonton. Fanatisme daerah besar sekali. Sudah mulai terasa fanatisme kebanggaan Persib sebagai klub kebanggan Jawa Barat, masyarakat datang dari daerah-daerah di Jawa Barat hanya untuk menonton Persib," tambah Max. Persib mulai dikenal banyak orang Jawa Barat dan menjadi klub kebanggaan. Hal itu tidak terlepas dari juara Perserikatan tahun 1961. Lapangan SIDOLIG sudah tidak mampu menampung banyaknya penonton. Persib kemudian pindah ke Stadion Siliwangi (lapangan Sparta dahulunya). Pindahnya tim Maung Bandung tidak terlepas dari pengurus Persib yang dihuni beberapa anggota Kodam Siliwangi ketika itu. "Kalau Siliwangi baru tahun 1960-an. Banyak pengurus dari Kodam Siliwangi. Termasuk bapaknya Risnandar, veteran tentara (R. Soendoro), pernah jadi Ketua Umum Persib," kata Endan. Fanatisme supporter Bandung terhadap Persib memang sudah tidak diragukan lagi, sejak tahun 1937, 1938 koran sipatahaoenan sudah memberitakan tentang pentonton yang memadati daerah dimana dilaksanakannya pertandingan persib,, yaitu di Tegalega dan ciroyom. Begitupun dengan majalah khusus olah raga terbitan Otto Iskandar Dinata yang memberitakan pendukung persib yang hadir saat persib bermain di tegalega dan ciroyom Bahkan Ketika persib bermain tandang, para bobotoh pun berbondong-bondong mendatangi kota tempat dimana di helatnya pertandingan persib, istilah sekarang biasa disebut kata ‘away”, salah satu contohnya adalah Ketika persib bertandang ke purwakarta, ada yang naik bis, oplet dan kereta seperti yang di muat dalam koran sipatahoenan pada tanggal 30 September 1940. Algemeen Indisch Dagblad terbitan 28 Juni 1956 mencatat tingginya animo suporter Persib untuk menonton di Stadion Siliwangi kala Pangeran Biru berhadapan dengan Stade De Reims, Perancis dalam laga persahabatan. Kendati Persib kalah dengan skor 3-2, kegembiraan menyelimuti para penonton yang memasuki lapangan setelah peluit akhir pertandingan ditiup wasit dengan senyum bangga seperti seorang pemenang.‎ Koran itu menyebutkann jumlah penonton mencapai 30 ribu orang saat itu. Tiket yang dijual bahkan melebihi jumlah kursi yang tersedia. Akibatnya, penonton meluber hingga pinggir lapangan. Bisa kita lihat bahwa bobotoh adalah supporter yang secara alami terbentuk oleh sebuah entitas budaya yang sejak dulu turun temurun di wariskan oleh buyut, kakek, dan orang tua kepada anak-anaknya, dari generasi ke generasi tidak terbentuk oleh sebuah Gerakan secar masif, tidak dibentuk oleh sekelompok oranng atau penguasa yang mempunyai dana lalu membentuk sebuah perkumpulan supporter, tapi bobotoh terbentuk sendiri oleh sebuah proses Panjang, dan sejarah yang terus tumbuh lain waktu kita akan membahas mengenai kiprah bobotoh di era perserikatan, khsuusnya Ketika bobotoh mampu membuat senayan seperti berada di kendang sendiri Sampai jumpa